Sebagai orang minang, ada pertanyaan yang muncul di dalam diri saya. Minangkabau dikenal dg sistem kekerabatan matrilinealnya, mengambil garis keturunan berdasarkan garis keturunan ibu. Seperti yang kita tahu, ini menjadi keunikan tersendiri, mengingat para 'tetangganya' tidak ada yang memiliki sistem kekerabatan seperti itu. Kenapa hal itu bisa terjadi? Kenapa berbeda sekali dengan rumpun melayu lainnya di Sumatera?
Ternyata seorang blogger dengan blognya http://lelakirindu.multiply.com/journal memiliki pertanyaan yang sama dengan saya. Pertanyaannya itu terjawab ketika dia membaca sebuah novel berjudul “Negara Kelima” karya ES Ito. Dalam salah satu bab novel tersebut ada cerita tentang sejarah munculnya sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau. Kurang lebih ceritanya seperti ini.....
----------
Masa abad kemudian berganti. Pemimpin silih berganti tapi tetap dengan gelar Datuk Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Hingga datang masanya kejayaan Majapahit, kerajaan besar di daerah Jawa. Dengan panglimanya, Adityawarman, kerajaan itu bersiap menyerang dan menguasai Minangkabau. Minangkabau adalah kerajaan yang dikenal sebagai nagari tanpa polisi. Kerajaan yang tak pernah menyiapkan angkatan perang karena mengutamakan kedamaian bahkan untuk daerah rantau dan pengaruh.
Dicarilah runding dan mufakat bagaimana menghadapi tentara Majapahit pimpinan Adityawarman. Demi kemaslahatan rakyat, perang harus dihindari tapi muslihat perlu untuk dicari. Datuk Parpatiah Nan Sabatang menyadari semua kelemahan itu. Dalam musyawarah, ia memaparkan rencananya untuk tidak menyambut tentara Adityawarman dengan senjata tetapi dengan kebesaran. Adityawarman akan dipinangkan untuk Puteri Jamilan saudara dari Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatiah Nan Sabatang. Tentara Jawa itu akan disambut dengan adat dan lembaga. Tidak aka nada perang yang hanya akan menimbulkan kesengsaraan rakyat.
Akhirnya Adityawarman sampai di ranah Minangkabau. Tentara Jawa itu terkejut karena mereka disambut dengan kebesaran bukan perlawanan perang. Utusan dari Pagaruyung datang menemuinya. Menyampaikan keinginan Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatiah Nan Sabatang, pucuk pimpinan alam Minangkabau untuk meminang Adityawarman untuk Puteri Jamilan. Adityawarman bingung. Ia tidak mungkin mengobarkan perang untuk menghadapi rakyat Minangkabau. Tawaran itu juga bisa langsung membuatnya menjadi raja Minangkabau. Datuak Katumanggungan bersedia memberikan jabatan pucuk alam Minangkabau pada Adityawarman sepanjang ia tidak memerangi rakyat Minangkabau dan harus mau menikah dengan Puteri Jamilan.
Menyadari gelagat Adityawarman akan menerima tawaran itu, Datuk Parpatiah Nan Sabatang mencari siasat agar raja-raja berikutnya tetap dianggap menerima warisan kerajaan dari Datuak Katumanggungan bukan dari Adityawarman. Ditetapkanlah adat Batali Bacambua yang langsung merubah struktur masyarakat Minangkabau.
“Nan dikatokan adat nan batali cambua, iyolah hubungan mamak dengan bapak, dalam susunan rumah tango, sarato dalam korong kampuang. Dek Datuak Parpatiah nan Sabatang, didirikan duo kakuasaan, balaku diateh rumah tango, iyolah tungganai jo rajonyo, nan korong kampuang barajo mamak, rumah tango barajo kali, di rumah gadang batungganai…Dicambua tali malakek”
Adat batali bacambua mengatur hubungan antara bapak dan mamak. Intinya, di dalam rumah tangga terdapat dua kekuasaan, pertama kekuasaan bapak, kedua kekuasaan Mamak, yaitu saudara laki-laki dari pihak ibu. Pemikiran itu dibawa Datuk Parpatiah Nan Sabatang pada musyawarah dengan cerdik pandai di balairung sari. Menyadari penting perubahan mufakat didapatkan.
Sejak saat itu susunan aturan masyarakat berubah. Dahulu bapak mewariskan kepada anak sekarang harus kepada kemenakan. Dahulu suku didapat dari bapak, sekarang dari ibu. Ini tidak lebih dari kecerdikan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Dengan datangnya Adityawarman, ia tetap menginginkan agar kekuasaan tetap berasal dari Datuak Katumanggungan. Dengan waris turun dari mamak, bukan dari bapak ini, nantinya akan memosisikan Aditywarman tidak lebih dari raja transisi bukan raja sebenarnya dari alam Minangkabau. Sebab Datuak Katumanggungan yang menyerahkan kekuasaan padanya, dengan sistem adat yang baru, terkesan hanya menitip kekuasaan. Hingga datang masanya nanti kemenakannya akan lahir dari perkawinan Puteri Jamilan, adiknya dengan Adityawarman.
----------
Saya tidak tahu pasti apakah ini bisa dijadikan sebagai patokan utama untuk mengetahui mengapa sistem kekerabatan ini lahir. Saya lupa sumbernya, ada suatu blog yang menyatakan bahwa sistem kekerabatan ini telah lahir sebelum kedatangan Adityawarman, dan semenjak kedatangan Adityawarman sistem ini vacum selama kurang lebih 70 tahun. Namun di lain kesempatan, saya juga menemukan cerita yang senada atau kurang lebih sama dengan yang di blog http://lelakirindu.multiply.com/journal, yaitu http://rangminang.web.id, bahwasanya sistem kekerabatan matrilineal lahir karena latar belakang kedatangan Adityawarman ke Minangkabau. Setelah saya coba amati, ternyata blog ini juga mengambil sumber yang sama yaitu dari ES Ito.
Ternyata seorang blogger dengan blognya http://lelakirindu.multiply.com/journal memiliki pertanyaan yang sama dengan saya. Pertanyaannya itu terjawab ketika dia membaca sebuah novel berjudul “Negara Kelima” karya ES Ito. Dalam salah satu bab novel tersebut ada cerita tentang sejarah munculnya sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau. Kurang lebih ceritanya seperti ini.....
----------
Masa abad kemudian berganti. Pemimpin silih berganti tapi tetap dengan gelar Datuk Katumanggungan dan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Hingga datang masanya kejayaan Majapahit, kerajaan besar di daerah Jawa. Dengan panglimanya, Adityawarman, kerajaan itu bersiap menyerang dan menguasai Minangkabau. Minangkabau adalah kerajaan yang dikenal sebagai nagari tanpa polisi. Kerajaan yang tak pernah menyiapkan angkatan perang karena mengutamakan kedamaian bahkan untuk daerah rantau dan pengaruh.
Dicarilah runding dan mufakat bagaimana menghadapi tentara Majapahit pimpinan Adityawarman. Demi kemaslahatan rakyat, perang harus dihindari tapi muslihat perlu untuk dicari. Datuk Parpatiah Nan Sabatang menyadari semua kelemahan itu. Dalam musyawarah, ia memaparkan rencananya untuk tidak menyambut tentara Adityawarman dengan senjata tetapi dengan kebesaran. Adityawarman akan dipinangkan untuk Puteri Jamilan saudara dari Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatiah Nan Sabatang. Tentara Jawa itu akan disambut dengan adat dan lembaga. Tidak aka nada perang yang hanya akan menimbulkan kesengsaraan rakyat.
Akhirnya Adityawarman sampai di ranah Minangkabau. Tentara Jawa itu terkejut karena mereka disambut dengan kebesaran bukan perlawanan perang. Utusan dari Pagaruyung datang menemuinya. Menyampaikan keinginan Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatiah Nan Sabatang, pucuk pimpinan alam Minangkabau untuk meminang Adityawarman untuk Puteri Jamilan. Adityawarman bingung. Ia tidak mungkin mengobarkan perang untuk menghadapi rakyat Minangkabau. Tawaran itu juga bisa langsung membuatnya menjadi raja Minangkabau. Datuak Katumanggungan bersedia memberikan jabatan pucuk alam Minangkabau pada Adityawarman sepanjang ia tidak memerangi rakyat Minangkabau dan harus mau menikah dengan Puteri Jamilan.
Menyadari gelagat Adityawarman akan menerima tawaran itu, Datuk Parpatiah Nan Sabatang mencari siasat agar raja-raja berikutnya tetap dianggap menerima warisan kerajaan dari Datuak Katumanggungan bukan dari Adityawarman. Ditetapkanlah adat Batali Bacambua yang langsung merubah struktur masyarakat Minangkabau.
“Nan dikatokan adat nan batali cambua, iyolah hubungan mamak dengan bapak, dalam susunan rumah tango, sarato dalam korong kampuang. Dek Datuak Parpatiah nan Sabatang, didirikan duo kakuasaan, balaku diateh rumah tango, iyolah tungganai jo rajonyo, nan korong kampuang barajo mamak, rumah tango barajo kali, di rumah gadang batungganai…Dicambua tali malakek”
Adat batali bacambua mengatur hubungan antara bapak dan mamak. Intinya, di dalam rumah tangga terdapat dua kekuasaan, pertama kekuasaan bapak, kedua kekuasaan Mamak, yaitu saudara laki-laki dari pihak ibu. Pemikiran itu dibawa Datuk Parpatiah Nan Sabatang pada musyawarah dengan cerdik pandai di balairung sari. Menyadari penting perubahan mufakat didapatkan.
Sejak saat itu susunan aturan masyarakat berubah. Dahulu bapak mewariskan kepada anak sekarang harus kepada kemenakan. Dahulu suku didapat dari bapak, sekarang dari ibu. Ini tidak lebih dari kecerdikan Datuak Parpatiah Nan Sabatang. Dengan datangnya Adityawarman, ia tetap menginginkan agar kekuasaan tetap berasal dari Datuak Katumanggungan. Dengan waris turun dari mamak, bukan dari bapak ini, nantinya akan memosisikan Aditywarman tidak lebih dari raja transisi bukan raja sebenarnya dari alam Minangkabau. Sebab Datuak Katumanggungan yang menyerahkan kekuasaan padanya, dengan sistem adat yang baru, terkesan hanya menitip kekuasaan. Hingga datang masanya nanti kemenakannya akan lahir dari perkawinan Puteri Jamilan, adiknya dengan Adityawarman.
----------
Saya tidak tahu pasti apakah ini bisa dijadikan sebagai patokan utama untuk mengetahui mengapa sistem kekerabatan ini lahir. Saya lupa sumbernya, ada suatu blog yang menyatakan bahwa sistem kekerabatan ini telah lahir sebelum kedatangan Adityawarman, dan semenjak kedatangan Adityawarman sistem ini vacum selama kurang lebih 70 tahun. Namun di lain kesempatan, saya juga menemukan cerita yang senada atau kurang lebih sama dengan yang di blog http://lelakirindu.multiply.com/journal, yaitu http://rangminang.web.id, bahwasanya sistem kekerabatan matrilineal lahir karena latar belakang kedatangan Adityawarman ke Minangkabau. Setelah saya coba amati, ternyata blog ini juga mengambil sumber yang sama yaitu dari ES Ito.
Komentar
hehe ^_^
jadi novel ini juga berdasar kisah nyata ya
tentang matrilinear..
mantap dah
saya jadi tahu sejarah dan asal muasal sistem kekerabatan matrilineal Minangkabau.
sangat berbeda sekali, dengan daerah lainnya di Indonesia.
orang minang ya
waduh mantap juo blognyo
@tukang colong, peace... :)
@berbagi informasi, iyo.. tarimo kasih..
kunjungan perdana
salam
Sistem kekerabatan matrilineal minangkabau sudah jauh ditetapkan sebelum kehadiran majapahit. Sistem ini sepenuhnya diadopsi dari alam. Seperti dituah kan dalam pepatah
"Kok diguluang saujuang kuku,
Dicampak, salaweh alam.
Alam takambang jadi guru,
Bumi jo langik adoh didalam."
Ini merupakan sikap nenek moyang yang gemar belajar ke alam. Dan kenapa minangkabau jadi matrilineal? Mari kita lihat alam minangkabau. Harimau merupakan satwa yg paling terkenal didaerahnya, binantang ini lah yg paling banyak dipelajari oleh orang minang. Sistem pewarisan harimau jatuh kepada pihak betina, jantan yg tumbuh besar beranjak keluar(merantau.red) dari tanah kelahiran nya. Lalu kemanakah harimau jantan? Harimau jantan yg pergi, akan mencari harimau betina lain sebagai pemilik suatu kawasan tertentu. Jantan akan melawan betina, apabila sang jantan menang maka betina akan menjadi pasangan nya. Mereka akan bersama menjaga kawasan itu. Terutama dari pejantan lain yg datang. Jadi terlihat jelaskan! Pola kehidupan orang minang sangat mirip dgn kehidupan harimau. Mulai dari budaya merantau, matrilineal, beladiri (silat harimau.red), dan hak warisan. Jadi dapat ditarik kesimpulan, budaya merantau seiring dgn system matrilineal itu lahir. Ingat kisah tambo datuk perpatih nan sabatang pergi merantau ke india demi menghindari perselisihan dgn dt.tumanggung? Disana beliau menempa ilmu utk menetapkan adat istiadat minangkabau selepas pulangnya. Diwaktu itulah minangkabau menjadi demokratis. Ingat juga leluhur orang minang sudah ada sejak gunung tinjau masih ada, silahkan lihat tahun berapa gunung tinjau itu meletus. Ditahun itu adat minangkabau sudah kokoh.