Salah satu hal yang membedakan masyarakat Minangkabau dari suku atau masyarakat lain di Indonesia adalah dari sistem kekerabatan yang dianut. Sistem kekerabatan masyarakat Minangkabau adalah matrilineal, yaitu garis keturunan ditarik dari garis ibu. Seorang yang lahir dalam satu keluarga akan masuk dalam kerabat keluarga ibunya, bukan kerabat ayahnya. Seorang ayah berada di luar kelompok kerabat istri dan anak-anaknya.
Jika dilihat sejarah kehidupan masyarakat Minangkabau dahulu, peranan ayah dalam rumah tangga teramat kecil. Sebaliknya, saudara laki-laki ibu (mamak) yang lebih banyak berperan dalam kehidupan anak-anaknya. Pada masa sekarang, peran seorang ayah sudah lebih besar dalam kehidupan keluarga. Namun pada hal-hal tertentu masih ada nampak pengaruh sistem kekerabatan ini. Contohnya, jika seorang ibu meninggal, pihak keluarga ibu akan mengambil alih tanggung jawab membesarkan anaknya walaupun sang ayah masih hidup.
Hal-hal penting dalam keluarga diputuskan oleh Bundo Kanduang, ibu dalam Rumah Gadang (rumah besar). Keluarga inti tinggal di rumah gadang dengan keluarga senior dari pihak istri. Sedangkan anak laki-laki terutama yang sudah dewasa tinggal di surau yang dibangun tak jauh dari rumah gadang. Pada masa sekarang, sudah sulit sekali menemukan anak laki-laki yang tinggal di surau. Mungkin sudah bisa dikatakan tak ada lagi.
Berdasarkan sistem kekerabatan matrilineal ini, harta warisan akan diturunkan menurut nasab ibu, sehingga anak laki-laki tak memiliki hak atas harta warisan. Mungkin juga ini yang menyebabkan laki-laki dewasa lebih suka merantau ke daerah lain.
Tak jarang saya temui pada masa sekarang, dalam hal kepemilikan tanah, jika tanah tersebut milik orang tua, maka orang tua akan membuat sertifikatnya atas nama orang tua dan anak-anak (tak terkecuali anak laki-laki), mungkin untuk menghindari sengketa kepemilikan tanah di kemudian hari. Namun, khusus untuk tanah milik kaum, hak waris tetap akan jatuh pada kaum, dalam hal ini pihak keluarga perempuan.
Jika dilihat sejarah kehidupan masyarakat Minangkabau dahulu, peranan ayah dalam rumah tangga teramat kecil. Sebaliknya, saudara laki-laki ibu (mamak) yang lebih banyak berperan dalam kehidupan anak-anaknya. Pada masa sekarang, peran seorang ayah sudah lebih besar dalam kehidupan keluarga. Namun pada hal-hal tertentu masih ada nampak pengaruh sistem kekerabatan ini. Contohnya, jika seorang ibu meninggal, pihak keluarga ibu akan mengambil alih tanggung jawab membesarkan anaknya walaupun sang ayah masih hidup.
Hal-hal penting dalam keluarga diputuskan oleh Bundo Kanduang, ibu dalam Rumah Gadang (rumah besar). Keluarga inti tinggal di rumah gadang dengan keluarga senior dari pihak istri. Sedangkan anak laki-laki terutama yang sudah dewasa tinggal di surau yang dibangun tak jauh dari rumah gadang. Pada masa sekarang, sudah sulit sekali menemukan anak laki-laki yang tinggal di surau. Mungkin sudah bisa dikatakan tak ada lagi.
Berdasarkan sistem kekerabatan matrilineal ini, harta warisan akan diturunkan menurut nasab ibu, sehingga anak laki-laki tak memiliki hak atas harta warisan. Mungkin juga ini yang menyebabkan laki-laki dewasa lebih suka merantau ke daerah lain.
Tak jarang saya temui pada masa sekarang, dalam hal kepemilikan tanah, jika tanah tersebut milik orang tua, maka orang tua akan membuat sertifikatnya atas nama orang tua dan anak-anak (tak terkecuali anak laki-laki), mungkin untuk menghindari sengketa kepemilikan tanah di kemudian hari. Namun, khusus untuk tanah milik kaum, hak waris tetap akan jatuh pada kaum, dalam hal ini pihak keluarga perempuan.

Komentar
bagus sistem kekerabatan di Minangkabau.
salut juga dengan kepemilikan tanah yg beratasnamakan orangtua.
saya yang anak sekolahan ga ngerti masalah warisan..
@yusuf, ya sob, tp jaman skrg peran laki2 sudah ckp besar...
@tianshi indonesia, ada enaknya ada jg ga enaknya...